Ode Masa Lalu

httphaskovoplaygrounds.blogspot.com
Dia melihat ke sekeliling dan berjalan ke suatu tempat dengan dua tiang berdiri tegak. Tiang itu dipenuhi benjolan-benjolan karat berwarna cokelat. Dia memegang dua tiang itu dengan kuat. Dia merasakan angin berembus, memainkan rambutnya.
“Lebih tinggi, Tammy, lebih tinggi, hahahaha.”
“Kamu yakin, Story? Aku ayun kamu sampai ke langit! Hahahaha.”
“Hahahaha, Ayo.”
Swiiiiingggg….
“Hati-hati, Anak-anak! Jangan mengayun terlalu tinggi!”
“Oke, Bu Ida.”
“Siap, Story? Rasakan ini. Hahahahaha.”
“Jangan terlalu tinggi! Tammy! Story!”
Swiiiiingggg….
“Aduh!” Story membuka matanya karena jari-jarinya terasa perih. Dia memegang dua tiang ayunan berkarat itu terlalu kuat sehingga karatnya menggores jari. Ya, dua tiang itu dulu adalah tiang ayunan. Permainan yang tak pernah dilewatkan oleh Story untuk bermain bersama Tammy, teman favoritnya. Story mengulum jari-jarinya yang terluka.
“Di mana Tammy sekarang, ya? Apa dia masih ‘gila’?” Story bertanya pada dirinya sendiri dan tersenyum.
horizontal_divider“Di mana Tammy? Di mana Tammy, Bu Ida?”
“Dia flu, Story. Dia tak bisa bermain bersama kita hari ini,” kata Bu Ida.
Story lari keluar kelas.
“Hey, Story. Kamu mau ke mana?” Bu Ida bertanya, tapi Story tetap berlari.
Story mendatangi ibunya yang selalu setia menunggunya di luar kelas.
“Mama, aku tak mau main di kelas hari ini. Tammy tak masuk,” kata Story.
“Tapi kamu ‘kan bisa main sama Meti, Susi, dan yang lain, ya ‘kan?” kata ibu Story.
“Aku maunya sama Tammy!”
“Bersikap yang manis, dong. Ayo kembali ke kelas. Teman-teman sudah menunggumu di kelas,” kata ibu. Ibu mengantar Story kembali ke kelas, tapi Story tak mau masuk ke dalam kelas. Story berpegang pada pintu kelas.
horizontal_dividerStory berdiri di suatu tempat yang dulu terdapat pintu kelasnya. Pintu kelas yang ia pegang kuat-kuat karena ia tak mau masuk ke dalam tanpa ada Tammy. Pintu kelas yang dulu penuh tempelan gambar para siswa. Pintu kelas yang ia mainkan bersama Tammy hingga tangannya terjepit pintu.
“Huhuhuhu, Mama,” Story menangis.
“Saya tak mendorong dia, Bu Ida,” kata Tammy.
“Tak apa. Ibu ‘kan sudah katakan kaIian tidak boleh main pintu. Story, jangan menangis, ya. Ibu obati kamu di ruang guru. Ayo ikut ibu,” kata Bu Ida.
“Tak mau. Saya mau Mama. Sakit. Sakit. Huhuhuhu.”
“Ya, ya. Ayo kita temui ibumu di luar.”
“Mama, aku tak mau belajar. Jariku, Mama. Sakit,” Story menangis.
“Saya benar-benar minta maaf, Bu Ida. Dia sepertinya tak mau kembali ke kelas,” kata ibu.
“Tak apa. Jarinya tidak berdarah. Cuma memar, tapi pasti sakit baginya.”
Story tidak kembali ke kelas. Dia duduk dekat kelas bersama ibunya.
horizontal_dividerStory menutup matanya dan mendengar anak-anak tertawa sambil menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang begitu ia kenal.

Taman yang paling indah hanya taman kami
Taman yang paling indah hanya taman kami
Tempat bermain, berteman banyak
Itulah taman kami, taman kanak-kanak

Story mendengar Bu Ida meminta anak-anak berhenti bernyanyi dan meminta mereka masuk ke dalam kelas. “Story, Story, ayo masuk ke kelas!” Story mendengar gurunya memanggil namanya. Suara itu semakin dekat dan semakin dekat. Story tersentak. Ia membuka matanya dan mencari-cari sumber suara itu. Tak ada. Hanya sebidang tanah lapang yang membisu dengan puing-puing dan tiang berkarat. red_crayon_line_divider

1 thoughts on “Ode Masa Lalu

  1. Ini adalah tulisan #28 saya dalam program WordPress’ 365 Days of Writing Prompts.
    #28 January 28 Ode to a playground
    A place from your past or childhood, one that you’re fond of, is destroyed. Write it a memorial.

    Suka

Tinggalkan komentar